Kamis, 30 Mei 2013

BUTIRAN ES DI PUNCAK MAHAMERU

Trip 10 hari di Malang (Kamis, 9 Mei 2013 - Minggu, 19 Mei 2013)
 
Orang bilang "Papandayan itu klo sedang musim kemarau, suhu dinginnya naujubile sampe ada bungan es" (masak sehh??) Orang lain bilang "Ranu Kumbolo dingin nya cadas, pagi-pagi tuh embun jadi bunga es" yah... saya sih iya-iya aja karena belum pernah merasakan langsung.

Kamis, 9 Mei 2013 "ENO Single Nest Hammock di Gerbong  III Kertajaya"
Trip bermulai dari Jakarta dari Stasiun Pasar Senen dengan menumpang kereta Kertajaya tujuan Surabaya Pasar Turi. Kereta berangkat pukul 14:10 WIB. Kebetulan saat itu sekaligus mengikuti acara Gathering Nasional Kaskus "Outdoor Adventure & Nature Club" yang ke-3 (Gathnas OANC #3) di Coban Rondo, Malang pada hari Jumat 10 - 12 May 2013.

Ada pengalaman unik saat perjalanan di kereta. Awalnya saya membayangkan bisa tidur walau tidak pulas saat perjalanan dengan kereta, mengingat Jakarta - Surabaya memakan waktu perjalanan + 14 jam, tentu harus ada waktu untuk tidur. Tapi ternyata tidak memungkinkan dengan posisi duduk, akhirnya saya coba membayangkan sepertinya bisa setup hammock di besi tempat taruh barang. Walau terlihat agak beresiko juga khawatir besi jebol bisa gawat. Asumsi saya besi itu pasti kuat karena didesign memang untuk menahan beban barang-barang bawaan penumpang, tidak mungkin jebol hanya karena menahan beban saya yang hanya 68 kg. Tanpa pikir panjang saya coba bongkar isi Carrier (TNF Prophet 65) yang sudah sempat berada di atas tempat barang. "Lebih baik repot dikit (bongkar alat) tapi setelah itu bisa tidur pulas".
ENO Single Nest Hammock di Gerbong III Kertajaya


Tidur pulas di ENO Singelnest Hammock (Ki-Ka: Timotheus Bayu W, Andre Hidayat Arasuli, Allex Xorix)



























Jumat 10 Mei 2013 "GATHNAS OANC#3 Coban Rondo"
Pukul 03:25 dini hari kereta tiba di Stasiun Surabaya Pasar Turi. Karena tujuan pertama pada perjalanan ini menghadiri acara Gathnas OANC#3, saya beserta rombongan peserta Gathnas OANC#3 lain langsung bergegas turun dan mencarter sebuah mobil Carry (Angkot) menuju ke Terminal Purabaya (Bungurasih) untuk selanjutnya menumpang Bus AC Kalisari tujuan Surabaya - Malang.

Minggu, 12 Mei 2013 "TNF Prophet 65 full debu di atas Jeep menuju Ranu Pani"
Selesai acara Gathnas OANC#3 saya dan 3 pendaki lain dari Jakarta (Facebook: Timotheus Bayu W, Andre Hidayat Arasuli, Wahyu Pranata), 1 pendaki dari Jogja (Facebook: Rio Sableng) dan 1 pendaki dari Sleman (Facebook: Reza Bahtiar) selanjutnya disebut "Team", beserta beberapa peserta Gathnas OANC#3 yang melanjutkan perjalanan ke Semeru langsung bergegas mencarter sebuah Angkot menuju Pasar Tumpang. Tiba di Pasar Tumpang ada Indomaret yang memiliki colokan listrik di bagian luar, kita bisa gunakan untuk charg Hp sambil belanja logistik dan menunggu barang bawaan pendaki dinaikan ke atas Jeep. Saya lupa perjalanan dari Pasar Tumpang menuju ke Ranu Pani itu melewati perbukitan yang penuh dengan debu, TNF Prophet 65 di taruh di atas Jeep bagian paling depan tanpa Cover Bag, alhasil sampai Ranu Pani full kotor terbungkus debu.

TNF Prophet 65 full debu di atas Jeep menuju Ranu Pani.
"Kotor tentu sulit kita hindari, apa lagi di Gunung, tapi saya pribadi jika kotor masih dapat diantisipasi, saya akan lakukan itu terutama untuk alat-alat yang saya bawa. Kadang saya berfikir lebih baik badan saya yang kotor, karena badan lebih mudah dibersihkan daripada alat".
 
Pemandangan di Cagak Trisula. Persimpangan antara Bromo dan Ranu Pani (Ki-Ka: Andre Hidayat Arasuli, Timotheus Bayu W, Allex Xorix, Wahyu Pranata)
Sampai di Ranu Pani sudah menjelang sore, saya dan team memutuskan untuk bermalam di sebuah Pondok Rumah persis berhadapan dengan warung Pak Gareng sambil re-packing alat dan logistik. Kesempatan itu tepat digunakan untuk mandi bersih-bersih, charg Hp, dan makan Opor Ayam warung yang rasanya "Aduhai", saking enak sampai 2x nambah.
Opor Ayam yang "Aduhai" di Ranu Pani
"Di Gunung, kita pasti kotor dan berkeringat. Sebagian pendaki berfikir buat apa dibersihkan, nanti juga kotor lagi, atau buat apa mandi nanti juga berkeringat lagi. Saya pribadi berfikir sebaliknya, kadang heran ada pendaki betah berhari-hari tidak mandi atau gosok gigi. Memang aneh, klo mau bersih ya ke hotel, betul!. Tapi di Gunung sebetulnya bersih itu bisa kita lakukan".

Pada saat tiba di Ranu Pani kebetulan sempat bertemu dengan teman pendaki dari Jakarta (Facebook: Lara Pranata Gianieri) yang baru saja melakukan pendakian ke Puncak Mahameru. Saat itu secara visual saya melihat lumayan "ancur" wajah dan jari-jari tangan full dengan pasir dan debu. Saya berfikir cadas juga ini Gunung sampai membuat orang membiarkan pasir dan debu nempel lama-lama di bagian wajah. Spontan saya membayangkan jalur pendakian Gunung Semeru akan lebih panjang dan jalur seperti Gunung Gede via Putri atau Gunung Merbabu via Wekas yang full nanjak dimana Lara juga ikut pada pendakian Gunung Merbabu 13-14 April 2013. Saya jadi pikir-pikir mau bawa Front Pack Vaude Wizard 24+4 (Vaude Wizard) yang rencananya akan saya gunakan saat Summit Atack. Terpaksa re-schedule dan re-packing. Alhasil isi di dalam Vaude Wizard harus masuk kedalam TNF Prophet 65. Beberapa alat terpaksa saya tinggalkan bukan semata-mata pertimbangan beban, tapi juga volume packing. King Camp Air Sleeping Pad (King Camp) cukup memakan volume, terpaksa saya tinggalkan dan hanya membawa Thermarest Ridgerest Sleeping Pad (Thermarest) yang fungsinya lebih baik dan lebih ringan daripada King Camp. Beberapa meter Webbing dan Carabiner ENO yang saya gunakan untuk Ancor pohon saat Hammockan di Gatnas OANC#3 juga terpaksa ditinggalkan, cukup bawa 2 Webbing Suspensi bawaan dari ENO dan 4 Carabiner Ticket To The Moon yang secara berat lebih ringan daripada Carabiner ENO. Charger Hp, pakaian kotor dan pakaian ganti, alat mandi, tetek-bengek lain-lain yang sebetulnya tidak terlalu berat tapi memakan volume terpaksa semua harus dipacking ke dalam Vaude Wizard dan saya titipkan di warung Pak Gareng.

Coban Rondo (Ki-Ka: Timotheus Bayu W, Allex Xorix)
Membawa beban di depan (28L) dan di belakang (65L) ke Gunung di atas 3000 mdpl dengan jarak tempuh pendakian melebihi 6 jam buat saya bukan ide bagus, kecuali tidak ada pilihan lain. Keseimbangan badan pada saat mendaki akan tidak maksimal ketika membawa beban depan-belakang, walau dibantu dengan sepasang Trekking Poles. Kondisi tersebut tentu hanya akan menyiksa badan dan membuat pendakian tidak menyenangkan. Disamping itu hanya akan memperlambat waktu pendakian. Bodohnya lagi yang kita bawa sebetulnya adalah sesuatu yang berlebihan dimana tidak semua kita pakai saat kita di Gunung.

Senin, 13 Mei 2013 "XL dapet Signal di Pos II dan Pos III menuju Ranu Kumbolo"
Pukul 10:00 WIB saya dan Team mulai pendakian dari Ranu Pani setelah sebelum nya sarapan pagi dengan menu yang sama seperti kemarin (opor ayam). Jalur pendakian berawal dari jalan aspal dan di kanan jalan pemandangan persawahan. 10 menit berlalu kita tiba di pintu gerbang "Selamat Datang Para Pendaki Gunung Semeru". Banyak para pendaki yang menyempatkan diri untuk foto di gerbang ini. Jalur selanjutnya adalah jalan setapak yang di paving block dan mulai sedikit menanjak. 40 menit berlalu kita tiba di Pos I + 2300 mdpl. Saya sempat cek BlackBerry XL ternyata masih menangkap signal 3G dan sempat saya coba telp ke Jakarta suara cukup jelas walau agak sedikit terputus-putus. Di sini saya sempatkan untuk membalas beberapa email dan sms klien yang masuk sambil menghabiskan 2 batang roko Marlboro merah. Suhu di jam Suunto Red Bull X'Alps (Red Bull) saat itu 23° celcius. Estimasi jika jam dilepas dan dibiarkan sensor membaca suhu + 19-20° celcius, angka yang lumayan menghibur buat saya penduduk Kota Jakarta yang terbiasa "frustrasi" dengan suhu 28-34° celcius jika tanpa pendingin ruangan. Pada suhu di bawah 20° celcius memungkinkan saya melakukan pendakian dengan menggunakan jaket single layer dan sarung tangan polar tanpa berkeringat. Pada pendakian di Gunung-gunung lain seperti Gunung Salak, Gede dan Merbabu biasanya saya hanya menggunakan kaos oblong, bahkan saat pendakian di Gunung Ceremai via Linggarjati saya terpaksa telanjang dada karena gerah dan berkeringat. Mungkin karena karakter hutan di gunung tersebut relatif rapat dan lembab, sehingga suhu badan akan sedikit lebih panas ketika kita bergerak.

Pos II (Ki-Ka: TNF Prophet 65, Osprey Atmos 65 dan Gregory Z55)
Perjalanan berlanjut ke Pos II. Jalur pendakian masih relatif datar tidak seperti yang saya bayangkan ketika saya bertemu Lara di parkiran Jeep Ranu Pani. Bahkan saking datarnya perjalanan bisa dilakukan tanpa beristirahat untuk sampai ke Pos II. 30 menit berlalu dengan jalan yang relatif santai namun pasti (tanpa berhenti), akhirnya kita tiba di Pos II. Di sini ternyata Blackberry XL saya masih menangkap signal GPRS, seperti biasa saya sempatkan untuk membalas email dan sms klien yang masuk sambil menghabiskan 2 batang roko.


Bag System (Ki-Ka: Gregory Z55, Osprey Atmos 65 dan TNF Prophet 65)
Pendakian berlanjut ke Pos III. Jalur pendakian dari Pos II ke Pos III sudah bukan paving blok lagi. Jalur mulai tanah kering, bahkan relatif berdebu. Ada beberapa titik lembab dan beberapa pohon melintang yang membuat saya sedikit menunduk jika tidak ingin kepala TNF Prophet 65 tersangkut pohon. Perjalanan dari Pos II ke Pos III sedikit lebih panjang daripada Pos I ke Pos II. Sempet membuat saya sedikit bosan karena jalur datar dan monoton. Dalam perjalanan ini ada satu spot bagus untuk Hammockan, sayang tidak sempat saya foto. Rasanya ingin sekali set-up Hammock diantara dua pohon di sana dan tidur-tiduran sambil membayangkan sesuatu. Tapi tidak mungkin karena ini bukan pendakian solo. Terpaksa keinginan itu saya simpan dan melanjutkan perjalanan ke Pos III. Dalam perjalanan ini tiba-tiba mendung dan turun hujan cukup lama. Terpaksa darurat kita set-up Rainfly (Flysheet) Costum milik Andre Hidayat Arasuli dan Rio Sableng, sebagian sikunya diikatkan ke ranting pohon dengan guideline dan sebagian cukup diganjal dengan sepasang Black Diamond Syncline Trekking Poles (BD Trekking Poles) dan Salewa Trekking Poles. Sambil menunggu hujan reda kita sempat berimprovisasi membuat sepanci teh di mix bubuk sirsak dan cokelat stick sejenis astor sisa snack Gathnas OANC#3 dengan MSR XGK Multifuel Stove Timotheus Bayu W. Rasanya lumayan "Aduhai" kecut-kecut enak. + 30 menit stuck karena hujan dan perjalananpun dilanjutkan.

Jalur dari Pos II ke Pos III masih relatif datar dan monoton, mungkin karena monoton jalur terasa cukup panjang. + 1 jam 30 menit dari Pos II ke Pos III dengan berjalan santai namun pasti, akhirnya kita tiba di Pos III. Pos ini roboh, mungkin karena diterpa angin atau ada sesuatu yang merobohkan. Pastinya tidak bisa digunakan untuk bersantai dan bermalas seperti di Pos I dan Pos II. di Pos III pun Blackberry XL sudah tidak bisa menangkap signal. Mungkin karena sudah semakin menjauh dari peradaban.

Perjalanan dari Pos III ke Pos IV langsung dihadapkan dengan jalur menanjak + antara 35-45° cukup membuat kita menghela nafas selepas melewatinya. Jalur dari Pos III ke Pos IV cukup bervariatif beberapa ada menanjak antara 15-25°, beberapa ada menurun antara 10-15°, namun masih didominasi dengan jalur datar. Cukup membosankan sepanjang perjalanan dari Pos II ke Pos IV. Mungkin karena di Pos III tidak berhenti, sehingga jalur terasa cukup panjang.

Kembali bersemangat setelah + 4 jam pendakian dengan jalur monoton
Setelah menahan bosan akhirnya terlihat sebuah kubangan air besar di lembahan yang ternyata itu adalah "Ranu Kumbolo", sekejap rasa bosan langsung hilang dan seolah-olah kondisi kaki yang sudah cukup pegal mendadak hilang dan sangat bersemangat kepingin cegera sampai di Camp Ranu Kumbolo dan set-up Tenda. Setelah beberapa mengambil gambar saya langsung bergegas menuju Pos IV yang posisi nya bersebelahan dengan Ranu Kumbolo. Saking tidak sabar ingin segera sampai di Camp Ranu Kumbolo, Pos IV saya bablas tanpa mampir. 

"Tiba-tiba pada pertemuan punggungan yang terakhir awan mendung tersibak, pemandangan curam di bawah kami ternyata adalah lembah dengan edelweis yang menawan. Selanjutnya langit benar-benar menyambut kami di ketinggian 2400 mdpl. Kami kira yang kami hadapi adalah fatamorgana, “ Ranu Kumbolo!” kami berteriak. Euphoria kami serempak. Sensasi gunung api paling epik dimulai, kami berlari, berjingkrak dan hampir lupa diri. “jadi ini yang namanya Ranu Kumbolo?". Kutipan dari http://wapeala.blogspot.com/ (Mahameru, Butiran Pasir Keteguhan).

Sesekali saya berhenti hanya untuk mengambil gambar titik-titik di mana ENO One Link Hammock Shelter System (ENO One Link) bisa dipasang diantara pohon pinggir danau dan di situ pula bisa set-up Tenda. Saya membayangkan bisa melakukan di titik itu dengan Hammock Shelter System, tapi sayang ini bukan pendakian solo. Akhirnya saya simpan kembali keinginan itu sambil mengucap dalam hati, "SUATU SAAT SAYA AKAN KEMBALI UNTUK MELAKUKAN ITU DENGAN ALAT YANG LEBIH LENGKAP". Cukup saya berandai-andai sambil berjalan dan sesekali mengambil gambar, langkah kaki tanpa sadar semakin cepat meskipun dihadapkan dengan jalur mulai menurun 10-25°, bahkan ada titik dimana turunan mencapai 45° dan naik lagi 35°, turun lagi 10°. Jalur naik turun tapi tidak masalah karena banyak hiburan pemandangan yang unik, bahkan sangat unik dimana ada savana luas diapit punggungan-punggungan dan terdapat danau luas di tengahnya. Saat itu saya membayangkan mendarat dengan Pesawat Amfibi sejenis Bombardier CL-142 di tengah danau dan mengendarai Jeep Rubricon 4X4 dari pinggir danau menuju ke pinggir punggungan melewati savana, lalu naik kuda ke atas punggungan dan turun kembali ke savana dengan Paralayang. MANTAP BANGET! 

"SUATU SAAT SAYA AKAN KEMBALI UNTUK MELAKUKAN ITU DENGAN ALAT YANG LEBIH LENGKAP"
Jam 14:30 saya dan Team sampai di Camp Ranu Kumbolo. Sebelum menentukan titik mana kita harus set-up Tenda, saya sempat cekdi jalur pinggir danau, apa betul banyak "BOMB" seperti banyak orang bilang. Ternyata ada saya menemukan satu persis di tengah jalur. Yah, kenapa sih harus di tengah jalur? kenapa tidak pergi ke semak yang jauh dari jalur? Tapi saya pikir mungkin itu lebih baik daripada "BOMB" itu saya temukan mengambang di air danau "Aje Gile".

Ranu Kumbolo (Ki-Ka: Vapor Light, Hogan, Trango) & ENO Single Nest
Setelah berputar-putar dan cukup menemukan satu "BOMB" saja, saya kembali ke Camp Ranu Kumbolo dan memastikan titik dimana Vaude Hogan UL 2P (Hogan), Mountain Hardwear Trango 3P (Trango), Sierra Designs Vapor Light 1P (Vapor Light) dan ENO Shelter (Rainfly) akan di set-up, parallel Team memproduksi air danau menjadi air mineral siap teguk yang rasanya mirip air Aqua dengan MSR MiniWork EX Cramic Water Filter (MSR Water Filter). Pada kondisi air tidak bergerak seperti danau atau kubangan, sangat disarankan tidak meminum langsung air tsb kecuali sudah dimasak hingga mendidih, atau setelah air di saring dengan MSR Water Filter. Alat tsb berfungsi menyaring air kotor sekaligus membunuh bakteri dan protozoa sehingga air hasil filteran aman untuk langsung diminum.

Vaude Hogan UL 2P dan Mountain Hardwear Trango 3P di Ranu Kumbolo
"Menghabiskan malam di Ranu Kumbolo membuat kami tiada henti berdecak kagum, pemandangan depan kami serupa pualam hitam, sempat tergelitik untuk meneliti, bakteri apa yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Sekeliling Ranu Kumbolo adalah bukit-bukit menjulang lengkung menambah dramatisnya keelokan danau terindah di gunung Semeru. Suhu terekstrim pada bulan agustus yang lalu kabarnya adalah minus 4 derajat celcius. Kutipan dari http://wapeala.blogspot.com/ (Mahameru, Butiran Pasir Keteguhan).

Sierra Designs Vapor Light 1P
Seperti biasa aktifitas malam di gunung adalah ngobrol ngalor-ngidul bersama Team sambil menikmati kopi dan susu hangat. Menanggapi kutipan di atas, saya coba merasakan dinginnya suhu pada malam hari di Camp Ranu Kumbolo dengan hanya mengenakan kaos oblong berbahan 50% Cotton, 50% Polyster dan Insulated TNF Flight Series (Insulated Pants). Saya coba berkonsentrasi dan membiarkan tubuh tidak menolak dingin selama + 30 menit. Suhu yang saya rasakan pada saat itu ternyata tidak sedingin ketika saya berada di Camp Pondok Salada (Gunung Papandayan) atau Camp Surya Kencana (Gunung Gede) di mana suhu pada malam hari umumnya tercatat 13-16° celcius.

Vaude Hogan UL 2P
Dingin yang saya maksud adalah dimana ketika kita sudah tidak merasa nyaman dan tidak konsen lagi untuk beraktifitas di malam hari karena badan sudah merasakan dingin/kedinginan. Asumsi saya kemungkinan akibat cuaca agak mendung sehingga suhu pada saat itu tidak cukup untuk menggangu badan. Karena sudah membawa Jacket TNF Cirrus + TNF Fill Goose Down 550 (Goose Down 550) yang cukup makan tempat di TNF Prophet 65, akhirnya saya pakai meskipun saat di dalam Tenda terpaksa saya buka karena gerah. Gerah ketika di dalam Tenda menurut saya karena volume Hogan tidak sebesar MSR Hubba-Hubba walau sama-sama berkapasitas 2 Personal. Disamping itu Inner Hogan rapat (bukan jaring-jaring) seperti Tenda 3 Season pada umumnya. 2 faktor tsb sangat mempengaruhi suhu di dalam Tenda. Tapi jika kita kepanasan di dalam Tenda, rasanya bukan seperti sedang di gunung, sebaliknya ketika kita kedinginan di dalam Tenda juga tidak menyenangkan, seperti yang pernah saya alami tidur di dalam Tenda Lafuma Summer Time 3/4 (Lafuma) di Camp Kandang Batu (Gunung Gede) akibat tidak menggunakan Thermarest, saya baru bisa tidur setelah matahari terbit karena saking dinginnya pasir di atas Lafuma

Selasa, 14 Mei 2013 "Damn! Jalur Menanjak (Tanjakan Cinta) Bikin Mules!
Pukul 10:00 WIB saya beserta 1 orang pendaki dari Palembang (Facebook: Rizqi Nurmizan) dan 1 orang pendaki lain dari Malang (Facebook: Zulyf Zulqurnain) yang juga masih tergabung dalam KASKUS OANC (Team) memulai pendakian dari Camp Ranu Kumbolo 2400 mdpl menuju Camp Kali Mati 2700 mdpl. Ujian pertama adalah Tanjakan Cinta yang sempat membuat saya mendadak mules. Ternyata mules bukan karena tidak sanggup mendakinya, tapi karena mitos yang mengatakan "jika kamu mendaki tanjakan tsb dengan memikirkan seseorang yang kamu cinta dan tanpa menoleh kebelakang, maka niscaya bla-bla-bla" I don't care ! saya sebagai pendaki yang datang jauh-jauh dari Jakarta cuma berfikir bagaimana cara bisa sampai puncak dengan aman dan mencoba fungsi alat-alat gunung yang saya bawa kemudian saya tuliskan di blog dan share ke publik. That's it! Mitos anu-anuan apalagi tetek-bengek hantu-hantuan tidak pernah mau saya pikirkan saat berada di gunung atau hutan. Saya cukup menghormati "mereka" dengan tidak melakukan hal yang aneh-aneh apa lagi merusak sesuatu yang sudah lebih dulu ada di situ.
"Damn! Jalur Menanjak (Tanjakan Cinta) Bikin Mules!
Ranu Kumbolo dari Puncak Tanjakan Cinta
Karena tujuan pendakian ini adalah puncak "Mahameru" dan sekalian saya mencoba bermalam dengan ENO One Link di Kali Mati, maka sebagian besar alat yang saya bawa saya tinggalkan di Camp Ranu Kumbolo. Saya pernah mengalami susah tidur pada suhu 16° celcius ketika Hammock-an di Camp Surya Kencana (Gunung Gede) pada 27-28 April 2013 akibat Sleeping Bag lokal yang saya pakai tidak berfungsi dengan baik. Saat itu bagian badan aman karena terbungkus Fill Goose Down 550, tapi bagian kaki tembus pada hal sudah dibungkus Insulated Pants dan kaos kaki berbahan woll. Mungkin karena angin dan hujan cukup deras, sehingga yang saya rasakan kaki saya seperti lembab padahal tidak basah.

Feathered Friend Fill Power 850 Goose Down (Denali Adventure Surabaya)
Kali ini akan berbeda ceritanya. Sleeping Bag yang saya bawa untuk Hammock-an adalah Feathered Friend dengan Fill Power 850 Goose Down (FF) milik Denali Adventure Surabaya (Facebook: Yohni Kurnianto). Merek ini masih kurang familiar di Indonesia dibanding dengan merek-merek lain, mungkin karena merek ini sebetulnya diperuntukan untuk cuaca dengan suhu yang super extreem seperti di Antartika dan harganya cukup bikin sakit kepala. Bayangkan saja produk FF ada yang memiliki temperatur rating -60° fahrenheit /-51,1° celcius dengan bandrol $1.039.00 belum termasuk ongkos kirim dan pajak (coba hitung sampai Indonesia berapa duit?). Harga produk FF paling murahnya dibandrol $339.00 dengan rating temperatur -40° fahrenheit /-4,4° celcius. Buat saya ini termasuk yang "super cadas!" dan untuk rating temperatur suhu di gunung-gunung Indonesia, produk FF ini sudah sangat lebih dari cukup. FF yang saya bawa memiliki rating temperatur + 0° fahrenheit /-17,7° celcius. Sudah melebihi titik aman untuk digunakan di Camp Kali Mati dimana menurut informasi yang saya dapat suhu paling ekstrem ada di -5° celcius. Saya termasuk beruntung bisa mencoba salah satu produk FF ini. Tanpa FF tentu saya akan tersiksa kedinginan saat Hammock-an di Camp Kali Mati sebelum Summit Atack.

Ticket To The Moon Single Nest Hammock di puncak Tanjakan Cinta
Alat yang saya butuhkan menuju Camp Kali Mati adalah Jaket Fill Goose Down, Insulated Pants, ENO One Link,  BD Trekking Poles, dan tentu FF Fill Power 850 Goose Down yang saya masukan semua kedalam TNF Prophet 65. Sedangkan logistik yang saya bawa adalah 2 bungkus Indomie, 2 sheet madu rasa, 1 cokelat batangan, 1 pak roti, 4 sheet susu cair, dan 1 liter air hasil filteran MSR Water Filter yang saya masukan kedalam tas Ticket To The Moon dimana tas tsb cukup unik karena ketika dilipat stow pocket packingnya hanya seukuran jempol tangan tapi ketika dibuka volumenya menjadi 20 liter. Tas itu yang paling tepat untuk membawa logistik saat Summit Atack daripada Vaude Wizard 34+4 atau TNF Prophet 65 (kebesaran).

Oro-Oro Ombo yang artinya rawa yang luas ditumbuhi bunga Lavender
Selepas Tanjakan Cinta ternyata pemandangan disekeliling makin bagus dan unik. Lokasi itu dinamaan "Oro-Oro Ombo" yang artinya rawa yang luas. Bentuknya lembahan padang savana luas dan berwarna ungu yang dikelilingi jajaran punggungan. Baru saja menghela nafas kita dihadapkan dengan turunan terjal, sama terjalnya ketika kita mendaki Tanjakan Cinta. Saya sempet berfikir, turunan ini pasti lumayan bikin dengkul panas dan ketika kembali dari Camp Kali Mati dengan melewati jalur yang sama, tentu turunan ini akan menjadi tanjakan yang menyebalkan. Orang bilang namanya "Tanjakan Benci", saya setuju dengan nama itu. Sesampainya di bawah ternyata yang ungu-ungu itu adalah sejenis bunga yang dinamakan bunga Lavender. Yang ada dipikiran saya ketika melewati jalur itu seperti di Film "Jurassic Park" dimana banyak Dinosaurus berkeliaran di savana yang luas. Sempat saya lihat di sebelah kanan ada jalur, tapi tidak ada pendaki yang lewat di jalur itu. Ternyata jalur itu hanya digunakan ketika musim hujan tiba mengingat savana Lavender ini akan menjadi rawa ketika musim hujan tiba.

Oro-Oro Ombo. Hamparan bunga Lavender berwarna ungu
20 menit berjalan di savana Lavender kita tiba di lokasi yang dinamakan "Cemoro Kandang" di ketinggian 2500 mdpl. Mungkin karena banyak sekali pohon Cemara tempat ini dinamakan kandang cemara. Saking banyaknya pohon Cemara yang sangat rimbun dan sejuk, rasanya seperti ingin sekali mengikatkan webbing ENO One Link di antara batang-batang pohon Cemara tsb untuk Hammock-an dan tertidur sejenak mengingat saya masih memiliki banyak waktu untuk sampai di Camp Kali Mati. Kembali lagi ini bukan pendakian solo, saya tidak bisa suka-suka hati. Pukul 15:00 paling telat saya harus sudah tiba di Camp Kali Mati untuk set-up ENO One Link, masak dan makan sore dengan porsi berat dan kemudian beristirahat sampai jam 23:45 untuk Summit Atack. Ini adalah pendakian pertama kali saya ke gunung Semeru. Artinya saya belum dapat mengestimasi jalur selanjutnya akan seperti apa dan berapa lama akan sampai. Hanya panduan 4 jam, mungkin jika berjalan santai bisa 5 jam. Tentu saya tidak ingin ada masalah dan harus sesuai schedule agar semua berjalan dengan lancar.

Cemoro Kandang banyak sekali titik yang menggoda untuk Hammock-an
Pada setiap pendakian gunung saya dengan Team. Saya selalu menghindari jalan bergerombol. Lebih baik saya ada di barisan paling belakang atau sebaliknya. Jika pemandangannya menurut saya bagus, saya lebih memilih ada di barisan paling belakang agar dapat menikmati perjalanan sembari menyempatkan mengambil beberapa gambar. Selain itu seolah-olah saya seperti sedang melakukan pendakian solo yang tidak seperti sedang dikejar-kejar waktu. Pendakian yang dilakukan terburu-buru menurut saya justru akan menghilangi nikmatnya mendaki gunung. Apa lagi gunung itu adalah gunung yang pertama kali didaki dimana umumnya saya masih "norak" dengan indahnya pemandangan di gunung tsb pada sepanjang jalur pendakian, kecuali kita memang tidak punya banyak waktu dan gunung itu sudah lebih dua kali saya daki. Sebagian pendaki lain berfikir sebaliknya, meskipun memiliki banyak waktu, lebih baik sampai lebih dulu ke lokasi tujuan Camp. Alasan "jika berjalan lambat dan terlalu sering berhenti, maka potensi cidera dibagian kaki / dengkul akan lebih besar". Tapi semua ini tidak berlaku ketika pendakian dilakukan di malam hari.

Jambangan 2600 mdpl. Jika tidak berkabut Puncak Mahameru terlihat jelas
Sepanjang perjalanan dari Cemoro Kandang sampai dengan lokasi yang dinamakan "Jambangan" dan sampai di Camp Kali Mati hanya sedikit tanjakan-tanjakan kecil + 5-10° kita temukan. Dapat dibayangkan selama perjalanan 3-4 jam itu ketinggian yang kita capai hanya 200 meter (Cemoro Kandang 2500 mdpl,  Jambangan 2600 mdpl dan Camp Kali Mati 2700 mdpl), artinya jalur masih relatif datar, namun demikian tidak membosankan seperti perjalanan dari Camp I menuju Camp III karena pemandangan kiri-kanan selama perjalanan cukup unik dan sangat menghibur. Dari Jambangan jika cuaca tidak berkabut, Puncak Mahameru dapat terlihat dengan jelas.

ENO One Link di Camp Kali Mati 2700 mdpl
Akhirnya setelah 4 Jam dengan berjalan santai namun pasti akhirnya kita tiba di Camp Kali Mati 2700 mdpl. Sebetulnya di Camp Kali Mati yang dekat dengan papan informasi terdapat banyak sekali titik bagus untuk set-up Tenda dan Hammock secara berdekatan (bersebelahan). Namun sayang sekali ketika saya tiba di sana, titik itu sudah penuh dengan Tenda-tenda pendaki lain. Untung saja di dekat Pos berbentuk bangunan seperti rumah yang ada di sana masih terdapat tempat untuk mendirikan Tenda dan sebelahnya terdapat pohon dimana saya bisa set-up ENO One Link di pohon itu. Mencari titik dimana kita bisa set-up Tenda sekaligus Hammock gampang-gampang susah. Kadang Tenda bisa didirikan pada titik itu, tapi tidak terdapat pohon yang tepat untuk bisa Hammock-an, kadang juga sebaliknya. 

Camp Kali Mati sore hari 21° celcius, + suhu sebenarnya di 18-19° celcius
Selesai Tenda didirikan dan ENO One Link di  set-up dengan benar (tidak terlalu pendek/tidak terlalu tinggi), kami membagi tugas, kebetulan tugas saya adalah menyiapkan makan pada sore itu dan team yang lain mengambil air di lokasi yang dinamakan "Sumber Mani" tidak jauh dari Camp Kali Mati. Saya sempat berfikir kenapa namanya Sumber Mani? Mani itu kan artinya?? (simpulkan sendiri deh yah). Tapi air nya bagus tanpa harus difilter dengan MSR Water Filter rasanya tetap seperti air kulkas, dan tidak ada rasa aneh-aneh walau kita langsung meminumnya. Masih terdapat banyak waktu sampai jam 23:45 malam nanti, saya sempatkan untuk berjalan-jalan disekitar itu dan mengambil gambar. Jam 16:00 sore saat itu sudah cukup gelap seperti jam 18:00 di Jakarta. Entah kenapa mungkin karena cuaca berkabut atau karena tempat ini termasuk bagian Timur pulau Jawa. Suhu yang tercatat pada sore hari di Red Bull saat itu 21° celcius, + suhu sebenarnya ada di 18-19° celcius.

Feathered Friend Fill Power 850 Goose Down di Camp Kali Mati 2700 mdpl
Suhu di Camp Kali Mati menjelang malam berangsur-angsur terus turun, namun saya tetap yakin dapat tertidur pulas di Hammock dengan terbungkus FF Fill Power 850 Goose Down yang memiliki rating temperatur + 0° fahrenheit /-17,7° celcius. Ternyata benar saja, ketika saya gunakan rasanya berbanding terbalik dengan ketika saya Hammock-an di Camp Surya Kencana (Gunung Gede) yang baru bisa tertidur menjelang subuh karena kedinginan, padahal masuk Sleeping Bag dari pukul 12:30. Sleeping Bag FF bekerja sangat-sangat sempurna tanpa kita harus menggenakan Jaket Down+Sarung Tangan+Kaos Kaki di dalamnya. Pukul 18:30 saya masuk kedalamnya, tidak lebih dari 15 menit saya sudah tertidur pulas tanpa terbangun hingga pukul 23:45. AMAZING!

Allex Xorix, Zulyf Zulqurnain. Saat review FF Fill Power 850 Goose Down
Sebelum tidur sengaja saya  siapkan hal-hal apa saja yang perlu saya bawa saat Summit Atack. Ini saya lakukan untuk mencegah tindakan "grasak-grusuk" cari-cari sesuatu ketika bangun pukul 23:45 nanti, termasuk mengganti batre Petzl Myo RXP (RXP) yang saya gunakan. Bisa dibayangkan ketika bangun tidur kita langsung jalan padahal otak masih loading, buru-buru bawa ini-itu yang penting asal masuk tas, yang tidak penting malah di bawa, yang penting malah ketinggalan. "Cakep!"  Hal ini tidak akan saya lakukan.


Batre RXP yang saat itu sedang saya gunakan sebetulnya masih bisa digunakan 5-6 jam non-stop namun dengan kualitas penerangan hanya 70-80%. Ada dua pertimbangan, pertama untuk apa saya bawa batre 6 pcs ke atas? yang dipake cuman 3 ko. Kedua, mengganti batre tidak sulit, tapi jika harus diganti sekarang, kenapa harus mengganti nanti? Mungkin terlihat tidak penting, tapi buat saya lebih tidak penting lagi ketika kita membawa sesuatu yang tidak kita gunakan sepenuhnya pada ketinggian tsb walau hanya sebatang batre A2 meskipun tidak berat, apa lagi mengganti di saat (misal) kondisi gelap, basah, angin kencang, atau disaat kita diterpa badai? dan ketika kita mengganti dengan batre yang baru, apa batre yang lama mau kita buang di sana? pasti kita bawa turun lagi. Artinya harusnya cuma bawa 3 batre A2, tapi malah bawa 6 batre A2? buat saya ini adalah konsep pemikiran. Batre hanyalah sebagai contoh penjelasan.

"Pada perjalanan di ketinggian +3500 mdpl, benda sekecil apapun akan menjadi pertimbangan untuk saya bawa, termasuk sebatang batre A2. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi pada konsep pendakian "Ultra-Light" hal ini harus dilakukan. Semakin ringan kita membawa beban maka akan semakin baik, namun tidak menghilangkan fungsi dan kelengkapan dari alat yang kita bawa".

Pada konsep Ultra-Light hal-hal seperti ini harus dipertimbangkan. Saya pernah melihat sebuah acara TV di National Geographic Channel, ada seorang Profesor yang sedang melakukan penelitian menelusuri hutan Amazon selama berbulan-bulan dengan berjalan kaki. Profesor tsb disamping membawa perlengkapan selayaknya pendaki gunung expedisi, dia juga membawa buku-buku yang kira-kira tebalnya 20-30 centimeter, saking dia sangat mempertimbangkan beban berat yang dia bawa, maka setiap lembar dari buku yang sudah dibaca itu dia robek, dan sobekan kertasnya dibakar bersama api unggun yang digunakan sebagai penghangat tubuh ketika malam tiba.

Tindakan di atas menjadi inspirasi buat saya untuk mempertimbangkan berat dan besaran volume dari setiap alat yang saya bawa ke gunung. Mungkin tidak signifikan, tapi coba rasakan perbedaan ketika mendaki gunung di atas 2500 mdpl anda membawa Tenda Big Agnes Fly Creek UL 1 yang beratnya 0,9 killogram dibanding dengan memikul Tenda TNF Mountain 25 atau MHW Trango 2 yang beratnya hampir sama dengan Lafuma Summer Time 3/4 (4,45 killogram) padahal anda cuman tidur sendiri di dalamnya dan gunung yang didaki bukan lah gunung es, mengingat 2 spesifikasi Tenda di atas adalah Tenda 4 season. Tapi untuk alasan lain, hal di atas tetap perlu dicoba!

Rabu, 19 Mei 2013 "Badai Menjelang Puncak Mahameru!" Apakah Saya Harus Kembali Turun Seperti Pendaki Lain, Padahal Tinggal 1/4 Jalan??

"Bang, Bangun! sudah jam 23:45" Bersambung!